Selasa, 03 Oktober 2017

Sosok Yang TakPernah Hilang



Sosok yang Tak Pernah Hilang
Oleh Viviean Anneesa

Pujangga dalam mimpi, mimpi dalam kalbu memasuki pikiran. Entah apa yang akan keluar dari bibir praduga tak bersalah karena lidah. Apa hanya aku yang merasakan atau hanya aku yang terlalu berlebihan dengan keadaan. Aku mulai melangkahkan kaki meyakinkan diri. Seolah tak ada yang membuatku ragu. Detik ini siang setengah sore akan melukiskan kertas ceritaku yang hampir selesai. Mereka bilang cerita disetiap kertasku belum selesai. Namun, saat ini aku akan menyelesaikan selembar kertas ceritaku dengan sebuah kenangan yang tak akan pernah bisa untuk dilupakan sekalipun suatu saat nanti aku membuka kertas ceritaku yang baru.

Tepat pukul dua siang. Aku beserta teman-temanku akan melukiskan cerita akhir di kertas ceritanya masing-masing. Semua wajah berubah menjadi putih susu. Keringat dingin datang keluar dengan sendiri nya dari kulit. Saat itu pula tak ada satu katapun yang keluar dari lidah yang tak bertulang ini, entah kenapa bisa terjadi. Hingga tibalah hasil perjuanganku dan teman-temanku selama tiga tahun. Semua akan terjawab pada detik ini juga. Siapa mengira bahwa kami semua akan melukiskan cerita terakhir kami dengan kabar yang tidak membuat hati pilu. Kami bernyanyi bergembira layaknya sang burung yang berterbangan di tepi pantai. Semuanya berubah seketika. Tak ada lagi wajah seputih susu, keringat dingin yang mengalir deras dari kulit, serta yang tadinya lidah yang tak bertulang ini tak bersuara mendadak seperti pasar di hari Minggu. Tak terkontrol namun terkendali.

Pada akhirnya kami telah menyelesaikan cerita akhir di kertas cerita kami. Cerita akhir yang tidak menggores luka di kertas. Mereka mengira bahwa setelah kami menyelesaikan cerita akhir kami dengan lukisan indah, kami juga akan melukiskan hal itu di seragam yang sederhana namun penuh arti ini. Perkiraan mereka salah besar mengenai itu. Kami tidak melukiskan kebahagiaan kami di sana. Kami hanya merayakan hari jadi kami lepas dari masa-masa puber. Ya masa SMA.

Aku dan teman-teman masa puber atau masa SMA. Menghabiskan waktu hanya untuk merayakan hari jadinya kami menjadi alumni. Perasaan senang, terharu dan bahagia tercampur menjadi satu. Riang, canda dan tawa tak henti diluapkan karena sadar selepas ini semua akan sibuk pada urusannya masing-masing. Sehingga tak rela untuk melewatkan momen indah ini begitu saja. Undangan ulang tahun mengatakan “Tiada kesan tanpa kehadiranmu”. Aku dan teman-temanku seraya mengatakan “Tiada cerita tanpa kebersamaan”.
Selesai sudah kertas ceritaku terisi dengan akhir cerita yang indah. Saatnya aku dan teman-temanku dengan kehidupan baru yang sudah menanti. Pilihan ada pada diri sendiri. Tuhan sudah mengatur skenario dengan sesempurna mungkin. Pilihanpun sudah tercantum dalam skenario-Nya. Aku dan teman-temanku memiliki pilihan masing-masing yang bervariasi yang dipandang baik.

Aku memilih untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negeri. Begitu pula dengan sebagian temanku. Kenapa sebagian? karena sebagian ada yang lebih memilih untuk terjun ke dunia pekerjaan. Apa mau dikata itu pilihan masing-masing.

Untuk saat ini aku dan teman-temanku sudah terpisah. Raka, mengikuti kursus chef di Yogyakarta yang sekarang telah bekerja di sebuah hotel ternama di Yogya. Putra, mengikuti tes PLN yang pada akhirnya lulus di sana sekarang ia telah menadapat pekerjaan tetap. Agustin, Frizka, Sari, dan Siska mengikuti kursus menjahit yang sekarang telah memiliki kemampuan membuat baju sendiri. Aku apa kabar?. Aku tetap dengan diriku masih dengan cita-cita yang sama dan masih dengan motivator yang sama.. Aku bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena doaku selama ini terpenuhi. Usahaku selama tiga tahun di SMA berbuah manis. Begitu pula dengan teman-temanku yang memilih bekerja telah dapat menghasilkan uang sendiri. Manisnya buah yang aku petik saat ini semua tidak terlepas dari doa orang tua. Di samping itu juga ada seseorang yang tak hentinya memotivasi aku dari aku menginjakkan kaki di SMA hingga sekarang aku dapat menginjakkan kaki di Fakultas Kedokteran. Ia adalah seniorku. Saat ini ia sedang menempuh pendidikan di Fakultas Ekonomi.

Dimulai dari sebuah perkenalan antara junior dengan senior kala itu. Tak pernah disangka kalau akan terjalin baik hingga aku dan dia menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Sebelumnya, aku dan dia membuat sebuah kesepakatan. Kesepakatan untuk memilih Kedokteran sebagai target utama ketika akan melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Ya. semua karena aku dan dia memiliki cita-cita yang sama. Namun, sekarang aku dan dia berada pada  Fakultas yang berbeda, perguruan tinggi yang sama. Walau begitu aku dan dia tetap sulit untuk bisa bertemu.

“Hai buk dokter, apa kabar?”. (Ujarnya padaku serambi mendekatiku)

“Hai kak Natan. Alhamdulillah kabar baik, ah jangan panggil gitu kak. Masih dalam proses. Eh kakak apa kabar nih?”. (Jawabku dengan senyum)

“Alhamdulillah kabar baik juga. Bagaimana dengan kuliahnya buk dokter? Hehe”. (Tanyanya padaku dengan seyum)

“Sejauh ini alhamdulillah lancar kak. makasih banyak ya kak. Berkat motivasi kakak yang tiada hentinya ke Celine. Sekarang Celine bisa duduk di perguruan tinggi. Eh apa kabar kuliahnya calon pengusaha?”.(Tanyaku padanya)

“Eh ngomong apa buk dokter nih. Itu semua karena usaha dan doa buk dokter sendiri. Kakak engga ada apa-apanya. Buk dokter hebat. Rajin-rajin kuliahnya ya buk dokter. Sepuluh tahun lagi kakak harus lihat buk dokter jadi dokter yang hebat ya”. (Pesannya padaku)

Selalu panggilan itu yang ia ucapkan padaku. Walau kadang aku kesal tak mau dipanggil dengan sebutan ibuk karena aku belum tua. Ya, dia seseorang yang aku anggap sebagai motivator. Seorang lelaki dengan kesederhanaannya serta kerendahan hatinya yang selalu dipancarkannya. Alasanku memanggil dia kakak lantaran dia seorang laki-laki adalah karena dia juga merupakan seniorku dalam ektrakurikuler pramuka ketika SMA saat itu.

Sepuluh tahun telah aku lalui dengan berbagai lika-liku dunia perkuliahan yang aku alami. Akhirnya aku mendapatkan gelar dokter. Kehadirannya tak pernah terlewatkan di saat momen penting bagiku. Dimulai dari kelulusan SMA ku, pengucapan janji hipokrates, kelulusanku menjadi sarjana kedokteran hingga aku mendapatkan gelar dokter. Ia selalu hadir dalam pandanganku dengan kemeja coklat muda, jas hitam, dasi coklat tua, celana hitam serta sepatu hitam mengkilatnya. Tak ada hentinya ia memotivasi diriku sampai saat ini. Kata yang selalu ia ucapkan padaku dan selalu ku ingat adalah “Selalu ingat Allah”

Kata-kata itu yang aku pikir membuatku bisa menjadi apa yang dia inginkan. Hingga suatu ketika aku sedang melakukan dinas malam. Aku dikejutkan dengan seorang pasien yang menderita kanker hati. Bukan karena penyakitnya yang aku kejutkan. Lantaran karena seorang pasien ini yang merupakan orang yang sangat berarti dalam perjalanan hidupuku hingga aku bisa menjadi seorang dokter. Ya, ia adalah Natan, motivatorku. Aku tak kuasa melihatnya menderita karena penyakit kanker hati yang ia derita. Tanpa pikir panjang. Aku melakukan tugasku sebagai seorang dokter.

Setelah kurang lebih satu jam berlalu dalam ruangan operasi. Akhirnya aku berhasil melakukan operasi pada pasien teristimewaku. Saat ia membuka matanya. Matanya yang berkaca-kaca dan tersenyum padaku.

“Terima kasih buk dokter. Buk dokter telah menyelamatkan nyawa satu orang”.

“Selalu ingat Allah. Ingat kak, Allah lah yang punya kuasa atas nyawa seseorang. Dokter hanya perantara bagi umatnya”. ( Balasku padanya dengan senyum)

“Buk dokter masih ingat kata-kata itu?”. (Tanyanya padaku)

Aku hanya membalas dengan senyum hangat padanya sang direktur. Direktur? ya, dia sekarang adalah seorang direktur di sebuah perusahaan.

Waktu berlalu menjalankan roda kehidupan. Sekarang ia telah menikah dan memiliki dua orang anak. Tepatnya sepasang orang anak. Isterinya adalah seorang pengusaha juga. Hingga saat ini ia telah memiliki perusahaan sendiri. Aku sampai saat ini masih dengan profesi yang sama. Masih dengan status yang sama. Belum menikah. Aku masih menikmati pekerjaanku saat ini. Ya, pekerjaan bukan profesi. Profesiku adalah seorang dokter namun, pekerjaanku adalah motivator. Aku belajar menjadi motivator darinya.  

Suatu hari ketika aku sedang berdiri di depan jiwa yang membanjiri podium. Ketika itu pula aku mengadakan reuni dengan teman-teman masa puber. Melihat teman-temanku yang telah menjadi orang semua. Ya karena sebelumnya kami belum sepenuhnya menjadi orang. Raka telah menjadi chef handal di Negeri orang di Singapura. Putra telah menjadi manager di sebuah perusahaan. Agustina, Frizka, Sari dan Siska telah menjadi designer ternama. Motivatorku tetap menjadi motivator. Ia juga hadir dalam acara tersebut. Ia mendekatiku serta teman-temanku dan lagi-lagi memberikan motivasi.

“Lulusan apapun kalian jika selalu ingat Allah maka, kesuksesan mudah kalian raih walau dengan jalan yang berbeda”.

Mungkin itu adalah motivasi terakhir yang ia ucapkan padaku dan teman-temanku. Mengapa? karena pada saat ini 20 Januari 2009 adalah proses pemakamannya. Ia telah dipanggil oleh sang Pencipta menuju Syurga-Nya. Aku dan teman-temanku terkejutnya bukan main. Seorang motivator yang selalu ada ketika aku susah maupun senang sekarang pergi. Ia meninggal karena serangan jantung. Bukan penyakit penyebabnya tapi Tuhan lah yang punya kehendak atas nyawa seseorang. Menangis? ya, kami semua menangis tiada henti melihat seorang manusia dibungkus dengan kain putih, tetapi apa boleh buat. Semua telah terjadi.

Lupakan? melupakan orang yang berjasa tak mudah bagiku. Hingga suatu ketika aku mengingat kepergian sang motivator di lorong rumah sakit. Aku dikejutkan dengan seorang anak remaja  yang menegurku dengan ramah.

“Buk dokter, jangan nangis dong. Semua ada jalannya. Selalulah ingat Allah buk”. (Ujarnya padaku)

Aku spontan melihat anak itu karena teringat kata-kata yang ia ucapkan. Seraya aku menjawab.

“Maaf, anda siapa ya? saya seperti mengenal kata-kata itu”.

“Perkenalkan buk, saya Arif hidayat puteranya Natan”.


Mendengar hal itu aku menangis bahagia. Aku kagum dengan motivatorku sampai detik ini juga. Ia selalu ada sampai saat ini. Natan tidak pernah hilang sekalipun ia telah pergi untuk selamanya. 

Senin, 25 September 2017

Pertanyaan Sederhana Dari Kak Chika



Pertanyaan Sederhana Dari Kak Chika

Pagi hari nan indah menyinari hari-hariku. Ini adalah hari pertama aku sekolah di bangku SMA. Aku sekolah di salah satu sekolah favorit, yaitu di SMA N 1 Yogyakarta. Hatiku di tumbuhi oleh bunga-bunga nan indah bagai bunga mekar yang bersemi di musim semi. Kenapa? Semua karena aku bisa diterima di sekolah tervaforit di daerahku.
Tibalah di hari pertama dimana aku menjalani ospek di sekolah. Aku takut dengan senior-seniorku di sini, karena aku sama sekali tidak mengenal senior-senior yang ada di sini. Tapi aku tak mau menampakkan wajah takutku pada mereka, karena itu akan membuat mereka bertindak semena-mena denganku nantinya.
Aku dihampiri oleh salah satu kakak senior, hatiku seperti bernyanyi namun bukan nyanyian yang indah.
“eh dek, ngapain di situ? Sini!!!”
“(dengan wajah berpancuran air keringat karena ketakutan) ii,, iiya kak, maf kak”
“kamu anak baru di sini kan? Nama kamu siapa?”
“nama aku Naura Azahra kak”
“kamu engga nanya balik nama kakak? Adek kelas macam apa kamu?”
“maaf kak, nama kakak siapa?” tanyaku dengan rasa takut yang membumbung.
“hahahahaha,,,,,, udah deh jangan ketakutan seperti itu naura, nama kakak chika lesmana, panggil aja kak chika, kkak bercanda aja tadi kok naura “
“jabatan kakak di OSIS apa kak?” jawabku yang mulai tenang.
“kakak sebgai ketua osis di sini naura, selamat datang di sekolah kami ya” tersenyum padaku
“iya kakak, makasih kak”
Ternyata semua yang kita pikir orang itu jahat , belum tentu dia benar-benar jahat pada kita. Aku mendapat perlakuan yang baik di sekolah ini, begitupun dengan teman-teman ku yang lainnya.
Aku pulang dengan membawa kesenangan dan kenyamanan di sekolah baru pada orang tuaku di rumah, aku ceritakan semua yang terjadi hari ini pada mama. Cerita yang begitu panjang membuat mama bosan mendengarnya, hehe , itulah aku , kalau belum semua yang aku ceritakan maka aku tidak akan berhenti bercerita. Sampai-sampai mama tertidur seperti anak kecil yang diceritakan cerita dongeng sebelum tidur.
Keesokan harinya, di pagi yang ramah aku berangkat ke sekolah dengan angkutan umum. Kebayang deh saat tau bagaimana bau angkutan umum itu yang semerbak. Hmm,, nenekku bilang, itulah perjuangan untuk menuntut ilmu , menggapai cita-cita setinggi langit.
Aku belajar dn mendapatkan teman-teman yang baru di sini. Setiap hari aku lakoni seperti ini.
Beberapa bulan kemudian , tibalah saat dimana pemilihan ketua OSIS baru di sekolah, aku di pilih pleh wakil kelasku untuk mengikuti mencalonkan diri sebagai ketua OSIS . aku menolak keputusan itu karena aku tidak pernah menjabat sebagai anggota osis sebelumnya, jadi aku tak mengenal betul tentang osis dan tugas-tugasnya. Namun hatiku luluh seketika ketika kak chika memberikan aku nasehat,
“Naura , ikut saja pemilihan ketua osis baru ini ra, kak yakin kamu bisa kok” tersenyum manis padaku
“tapi naura engga punya pengalaman soal osis kak” (menampaakan wajahtak yakin)
“past bisa naura, kak yakin kamu bisa kok, ikutb aja ya”
“hmm, iya kak, naura coba untuk ikut pemilihan ketua osis baru kak , makasih ya kak ”
“ iiya naura, good luck yaa”
Dengan senyuman yang manis kata-kata yang membangkitkan aku untuk mengikuti ajang pemilihan ketua osis tahun ini.
Tibalah saat pengumuman ketua osis SMA N 1 Yogyakarta yang baru. Aku tidak deg-degan , karena aku tidak yakin kalau aku bisa memenangkan pemilihan ketua osis tahun ini. Aku punya pengalaman apa soal itu?
“Oke, siap semuanya ,, dan yang menjadi ketua osis tahun ini di sekolah kita adalah,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,Naura,,,, slamat naura” panitia menyebutkan hasil pemlihannya
“hah? Aku ? salah kali kak” kaget di campur penasaran
“engga ada yang salah naura, memang kamu yang jadi ketua osis barunya, selamat ya”
“iya, makasih kak”
Kak chika pun memberikan ucapan selamat  padaku, dan  ia pun memberikan aku amanat agar aku bisa menjadi ketua osis yang bisa dijadikan contoh untuk siswa yang lainnya. Dengan senang hati aku akan menjaga amanat dari kakak senior yang paling baik bagiku,,
Aku pulang kerumah dengan rasa senang, namun penuh kebimbangan untuk menjalankan amanat sebagai keua osis. Bagiku tidak mudah menjadi seorang pemimpin yang baik untuk orang banyak.
Satu semester berlalu sudah aku menjabat sebagai ketua osis, rasa bimbang yang dulu aku punya sekarang mulai sirna dengan berjalannya waktu.
Kedudukan, penghormatan, semua datang padaku begitu saja setelah aku menjabat sebagai ketua osis, aku sadari itu semua. Semua yang di dapatkan mebutakan akan Seorang Naura yang dulu. Semua jauh berbeda setelah Nura mendapatkan semuanya.
“eh, kamu aku ini ketua kamu, jadi dengerin apa kata aku dan semua perintah aku, jangan sok pinter deh kamu ngasih aku saran gitu” ucap naura dengan ketus kepada salah satu temannya
“iya , maaf ra , aku kan Cuma ngasih saran itu aja sama kamu, aku menghargai kamu sebagai ketua aku, “
“menghargai? Dari mana menghargai? Itu sama aja kamu meremehkan aku”
“oke , maaf, terserah kamu ajalah ra, capek aku kamu omelin terus”
“Bagus lah, ya udah , aku engga butuh kamu” dengan wajah ketus dan sombong.
Nina pun pergi mennggalkan ruangan rapat begitu saja. Nina tak percaya kalau Naura akan menjadi sombong seperti ini. Mendengar kabar itu, kak chika sangat kecewa karena Naura yang ia kenal bukanlah naura yang seperti ini. Rasa penasaran yang dalam, kak chika mencari tahu kebenarannya.
Esok harinya, kak chika mendapati naura yang sedang membentak anggotanya di halaman sekolah.
“eh kamu gimana sih? Kok nyusun tanaman gini aja gak bisa? Bisa kerja gak sih kamu?
“iya maaf ra, nanti aku susun lagi dengan rapi”
“5 menit harus udah selesai ya” ucapnya memaksa
Mendengar dan melihat hal itu secara langsung, kak chika menemui naura yang berjalan menuju arah kantin sekolah,
“Hai naura, apa kabar?’ Tanya kak chika dengan ramah
“hai kak, aku baik ,, kak chika apa kabar?”                                             
“baik juga, ra tadi kak lihat kamu membentak teman kamu, kenapa?”
“oh tadi itu karena dia engga beres kerjanya kak, wajar dong aku marah kak”
“tapi bukan seperti itu caranya ra, itu namanya kamu sewenang-wenang saja, kamu ingat waktu kamu masuk sekolah ini, apa ada kamu kakak perlakukan seperti itu?
“udah lah kak, naura mau ke kelas dulu, sampai nanti kak” pergi meninggalkan kak chika begitu saja
Semuasiswa mulai membenci naura yang bertindak sewenang-wenang , guru-guru pun mulai heran karena sikap naura yang berubah.
Naura tidak nmemiliki teman dan di jauhi oleh teman-teman di sekolahnya. Hingga suatu hari naura tersadar dengan ucapan kak chika di kantin, dengan pertanyaan yang sederhana “apa kamu kakak perlakukan seperti itu?” dengan pertanyaan itu aku menjdi sadar bahwa apa yang telah aku lakukan itu adalah salah, tak seharusnya semua yang di dapatkan harus menjadi kebanggaan dalam diri yang menjadi sebuah kesombongan. Akhirnya aku minta maaf kepada semua teman-teman dan guru. Saat itulah osis SMA N 1 Yogyakarta kembali berjalan dengan baik. 

 ByViviean Anneesa